Jumat, 01 Juli 2011

Contextual Teaching and Learning ( CTL )

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Contextual Teaching and Learning ( CTL )
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Imam Mujahid, 2005:3).
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran dihadapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.Kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan lebih produktif dan bermakna. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Namun demikian, dalam penerapannya pendekatan kontekstual bukan merupakan pekerjaan yang mudah , karena guru harus betul-betul memiliki kompetensi yang mumpuni dalam materi yang diajarkan. Disamping itu, pendekatn ini akan mengalami kesulitan apabila keadaan siswa kurang redines dalam materi pembelajaran yang akan disampaikan.
uanghipni.blogspot.com

B. Konsep Contextual Teaching and Learning ( CTL )
Pembelajaran kontekstual adalah terjemahan dari istilah Contextual Teaching Learning (CTL).Kata contextual berasal dari kata contex yang berarti “hubungan, konteks, suasana, atau keadaan”. Dengan demikian contextualdiartikan ”yang berhubungan dengan suasana (konteks). Sehingga Contextual Teaching Learning (CTL) dapat diartikan sebagi suatu pembelajaran yang berhubungan dengan suasana tertentu.
Pembelajaran kontekstual didasarkan pada hasil penelitian John Dewey (1916) yang menyimpulkan bahwa siswa akan belajar dengan baik jika apa yang dipelajari terkait dengan apa yang telah diketahui dan dengan kegiatan atau peristiwa yang terjadi disekelilingnya.
Pengajaran kontekstual sendiri pertama kali dikembangkan di Amerika Serikat yang diawali dengan dibentuknya Washington State Consortum for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika Serikat. Antara tahun 1997 sampai tahun 2001 sudah diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk mengembangkan, menguji, serta melihat efektifitas penyelenggaraan pengajaran matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi, dan 18 sekolah dengan mengikutsertakan 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sudah diberikan pembekalan sebelumnya.
Penyelenggaraan program ini berhasil dengan sangat baik untuk level perguruan tinggi sehingga hasilnya direkomendasikan untuk segera disebarluaskan pelaksanaannya. Untuk tingkat sekolah, pelaksanaan dari program ini memperlihatkan suatu hasil yang signifikan, yakni meningkatkan ketertarikan siswa untuk belajar, dan meningkatkan partisipasi aktif siswa secara keseluruhan.
Pembelajaran kontekstual berbeda dengan pembelajaran konvensional, Departemen Pendidikan Nasional (2002:5) mengemukakan perbedaan antara pembelajaran Contextual Teaching Learning (CTL) dengan pembelajaran konvensional sebagai berikut:
CTL Konvensional
Pemilihan informasi kebutuhan individu siswa; Pemilihan informasi ditentukan oleh guru;
Cenderung mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin); Cenderung terfokus pada satu bidang (disiplin) tertentu;
Selalu mengkaitkan informasi dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa; Memberikan tumpukan informasi kepada siswa sampai pada saatnya diperlukan;
Menerapkan penilaian autentik melalui melalui penerapan praktis dalam pemecahan masalah; Penilaian hasil belajar hanya melalui kegiatan akademik berupa ujian/ulang
herdy07.wordpress.comMei 27, 2010
Permasalah terbesar yang dihadapi para peserta didik sekarang (siswa) adalah mereka belum bisa menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dan bagaimana pengetahuan itu akan digunakan. Hal ini dikarenakan cara mereka memperolah informasi dan motivasi diri belum tersentuh oleh metode yang betul-betul bisa membantu mereka. Para siswa kesulitan untuk memahami konsep-konsep akademis (seperti konsep-konsep matematika, fisika, atau biologi), karena metode mengajar yang selama ini digunakan oleh pendidik (guru) hanya terbatas pada metode ceramah.
Di sini lain tentunya siswa tahu apa yang mereka pelajari saat ini akan sangat berguna bagi kehidupan mereka di masa datang, yaitu saat mereka bermasyarakat ataupun saat di tempat kerja kelak. Oleh karena itu diperlukan suatu metode yang benar-benar bisa memberi jawaban dari masalah ini.Salah satu metode yang bisa lebih memberdayakan siswa dalah pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning / CTL).
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sistem pembelajaran yang cocok dengan kinerja otak, untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna, dengan cara menghubungkan muatan akademis dengan konteks kehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini penting diterapkan agar informasi yang diterima tidak hanya disimpan dalam memori jangka pendek, yang mudah dilupakan, tetapi dapat disimpan dalam memori jangka panjang sehingga akan dihayati dan diterapkan dalam tugas pekerjaan.
CTL disebut pendekatan kontektual karena konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota masyarakat.
Menurut teori pembelajran kontekstual, pembelajaran terjadi hanya ketika siswa (peserta didik) memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dapat terserap kedalam benak mereka dan mereka mampu menghubungannya dengan kehidupan nyata yang ada di sekitar mereka. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa pikiran secara alami akan mencari makna dari hubungan individu dengan linkungan sekitarnya.
Berdasarkan pemahaman di atas, menurut metode pembelajaran kontekstual kegiatan pembelajaran tidak harus dilakukan di dalam ruang kelas, tapi bisa di laboratorium, tempat kerja, sawah, atau tempat-tempat lainnya.Mengharuskan pendidik (guru) untuk pintar-pintar memilih serta mendesain linkungan belajar yang betul-betul berhubungan dengan kehidupan nyata, baik konteks pribadi, sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, serta lainnya, sehingga siswa memiliki pengetahuan/ ketrampilan yang dinamis dan fleksibel untuk mengkonstruksi sendiri secara aktif pemahamannya.
Dalam linkungan seperti itu, para siswa dapat menemukan hubungan bermakna antara ide-ide abstrak dengan aplikasi praktis dalam konteks dunia nyata; konsep diinternalisasi melalui menemukan, memperkuat, serta menghubungkan. Sebagai contoh, kelas fisika yang mempelajari tentang konduktivitas termal dapat mengukur bagaimana kualitas dan jumlah bahan bangunan mempengaruhi jumlah energi yang dibutuhkan untuk menjaga gedung saat terkena panas atau terkena dingin. Atau kelas biologi atau kelas kimia bisa belajar konsep dasar ilmu alam dengan mempelajari penyebaran AIDS atau cara-cara petani bercocok tanam dan pengaruhnya terhadap lingkungan.
1. Prinsip Ilmiah Moderen
Dengan menerapkan CTL tanpa disadari pendidik telah mengikuti tiga prinsip ilmiah modern yang menunjang dan mengatur segala sesuatu di alam semesta, yaitu: 1) Prinsip Kesaling-bergantungan, 2) Prinsip Diferensiasi, dan 3) Prinsip Pengaturan Diri.
- Prinsip kesaling-bergantungan mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta saling bergantung dan saling berhubungan.Dalam CTL prinsip kesaling-bergantungan mengajak para pendidik untuk mengenali keterkaitan mereka dengan pendidik lainnya, dengan siswa-siswa, dengan masyarakat dan dengan lingkungan.Prinsip kesaling-bergantungan mengajak siswa untuk saling bekerjasama, saling mengutarakan pendapat, saling mendengarkan untuk menemukan persoalan, merancang rencana, dan mencari pemecahan masalah.Prinsipnya adalah menyatukan pengalaman-pengalaman dari masing-masing individu untuk mencapai standar akademik yang tinggi.
- Prinsip diferensiasi merujuk pada dorongan terus menerus dari alam semesta untuk menghasilkan keragaman, perbedaan dan keunikan. Dalam CTL prinsip diferensiasi membebaskan para siswa untuk menjelajahi bakat pribadi, memunculkan cara belajar masing-masing individu, berkembang dengan langkah mereka sendiri. Disini para siswa diajak untuk selalu kreatif, berpikir kritis guna menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
- Prinsip pengaturan diri menyatakan bahwa segala sesuatu diatur, dipertahankan dan disadari oleh diri sendiri.Prinsip ini mengajak para siswa untuk mengeluarkan seluruh potensinya.Mereka menerima tanggung jawab atas keputusan dan perilaku sendiri, menilai alternatif, membuat pilihan, mengembangkan rencana, menganalisis informasi, menciptakan solusi dan dengan kritis menilai bukti. Selanjutnya dengan interaksi antar siswa akan diperoleh pengertian baru, pandangan baru sekaligus menemukan minat pribadi, kekuatan imajinasi, kemampuan mereka dalam bertahan dan keterbatasan kemampuan.
Kembali ke konsep tentang CTL.Dalam pembelajaran kontekstual guru dituntut membantu siswa dalam mencapai tujuannya.Maksudnya adalah guru lebih berurusan dengan strategi dari pada memberi informasi. Di sini guru hanya mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Kegiatan belajar mengajar (KBM) lebih menekankan Student Centered daripada Teacher Centered. Menurut Depdiknas guru harus melaksanakan beberapa hal sebagai berikut: 1) Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh siswa. 2) Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa melalui proses pengkajian secara seksama. 3) Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal siswa yang selanjutnya memilih dan mengkaiykan dengan konsep atau teori yang akan dibahas dalam pembelajaran kontekstual. 4) Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki siswa dan lingkungan hidup mereka. 5) Melaksanakan penilaian terhadap pemahaman siswa, dimana hasilnya nanti dijadikan bahan refeksi terhadap rencana pemebelajaran dan pelaksanaannya.
nadhirin.blogspot.com [3/31/2010 08:48:00 PM
2. Komponen Utama
Menurut Depdiknas untuk penerapannya, pendekatan kontektual (CTL) memiliki tujuah komponen utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (Inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat-belajar (Learning Community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic). Adapaun penjelasannya sebagai berikut:
1. Konstruktivisme (constructivism). Kontruktivisme merupakan landasan berpikir CTL, yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental mebangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuanyang dimilikinya.
2. Menemukan (Inquiry). Menemukan merupakan bagaian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual Karen pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari menemukan sendiri.Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan (conclusion).
3. Bertanya (Questioning). Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya.Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa, 3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6) memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
4. Masyarakat Belajar (Learning Community). Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman, antar kelompok, dan antar yang tau ke yang belum tau.Masyarakat belajar tejadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.
5. Pemodelan (Modeling). Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan ,elibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.
6. Refleksi (Reflection). Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru dipelajari aau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu.
7. Penilaian yang sebenarnya ( Authentic Assessment). Penialaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian dilakukan terhadap proses maupun hasil.

C. Kelebihan Dan Kekurangan CTL
Kelebihan :
1. Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah dilupakan.
2. Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Kelemahan :
1. Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa yang diterapkan semula.
nadhirin.blogspot.com [3/31/2010 08:48:00 PM

D. Pola Pembelajaran CTL

1. Pendahuluan
- Guru menjelaskan kompetensi yng harus dicapai serta manfaat dari proses
pembelajaran dan pentingnyua materi pelajaran yang akan dipelajari
- Guru menjelaskan prosedur pembelajaran CTL :
a. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa
b. Tiap kelompok ditugaskan untuk melakukan observasi misalnya
kelompok 1 dan 2 melakukan observasi ke pasar tradisional, dan
kelompok 3 dan 4 ke pasar swalayan.
c. Melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang
ditemukan
- Guru melakukan Tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan oleh setiap siswa
2. Kegiatan Inti
Di lapangan
- Siswa melakukan observasi ke pasar sesuai dengan pembagian tugas kelompok
- Siswa mencatat hal – hal yang mereka temukan di pasar sesuai dengan alat
obserbvasi yang telah mereka tentukan sebelumnya.
Di kelas
- Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya masing – masing.
- Siswa melaporkan hasil diskusi
- Setiap kelompok menjawab setiappertanyaan yang diajukan oleh kelompok lain
3. Penutup
- Dengan bantuan dari guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar masalah
pasar sesuai dengan indicator hasil belajar yang harus dicapai
- Guru menugaskan siswa untuk membuat karangan tentang pengalaman belajar
mereka dengan tema “ pasar “ . ( Wina Sanjaya. 2006:270-271 )


E. Dasar Pertimbangan Penggunaan CTL
1. Tujuan Pembelajaran :
a. Menempatkan siswa sebagai subjek belajar
b. Siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja kelompok,
berdiskusi, saling menerima, dan memberi
c. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil
d. Kemampuan didasarkan atas pengalaman
e. Tujuan akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan
diri;

2. Materi pembelajaran
Pembelajaran Kontekstual atau dikenal dengan CTL (Contextual Teaching and Learning) jika ditelaah maka sangat cocok diterapkan pada proses pembelajran di Indonesia. Konsep CTL ini sepertinya hampir mirip dengan konsep CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) bahwa siswa dituntut peranannya dalam proses pembelajaran. Keaktifan siswa sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar. Materi pelajaran yang sesuai dengan CTL adalah materi pelajaran yang mudah untuk dikaitkan dengan dunia nyata. ( ipankreview.wordpress.com : 2 Mei 2009 )
3. Waktu yang tersedia
Alokasi waktu untuk melakukan kegiatan pembelajaran cukup tersedia
4. Ketersediaan sarana dan prasarana
Adanya sarana dan prasarana yang mendukung untuk diadakannya kegiatan di lapangan.
5. Kemampuan dan keterampilan guru dalam menggunakan strategi
Guru mempunyai kompetensi untuk merencanakan dan melaksanakan CTL

DAFTAR PUSTAKA


herdy07.wordpress.com/2010/05/

nadhirin.blogspot.com/.../model-pembelajaran-contextual-teaching.html

Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Kencana prenada media group : Jakarta

uanghipni.blogspot.com/.../pengertian-contextual-teaching-and.html

ALIRAN KOGNITIF

BAB II.
TEORI – TEORI BELAJAR KOGNITIF

Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinforcement”. Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran kognitif. Didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memeperoleh “insight”untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada dalam suatu situasi. Keseluruhan adalah lebih daripada bagian-bagian. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk reppresentatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan atau di hadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri. Tampat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat diabawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.

A. Awal Pertumbuhan Teori-Teori Belajar Kognitif
Psikologi kognitif mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar “gestalt” peletak dasar psikologi Gestalt adalah Mex Wertheimer ( 1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving sumbangan nya ini diikuti oleh Kurt Koffka (1886-1941) yang menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan; kemudian Wolfgang penelitian-penelitian mereka menumbuhkan Psikologi Gestalt yang menekankan bahasa pada masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum Gestaltis berpendapat, bahwa pengalaman itu berstruktur stimulus dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian yang terpisah.
Suatu konsep yang penting dalam psikologi Gestalt adalah tentang “insaightí yaitu pengamatan atau pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagianb-bagian di dalam suatu situasi permasalahan hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi permasalahan . Insight itu sering dihubungkan dengan pernyataan spontan “aha atau “oh, I see now”
Kohler (1927) menemukan tumbuhnya insight pada seekor simpanse dengan menghadapkan simapse pada masalah bagaimana memperoleh pisang yang terletak di luar kurungan atau tergantung di atas kurungan. Dalam eksperimen itu Kohler mengamati, bahwa kadang kala simpase dapat memecahkan masalah secara mendadak, kadangkala gagal meraih pisang, kadangkala duduk merenungkan masalah, dan kemudian secara tiba-tiba menemukan pemecahan masalah.
Wertheirmer (1945) menjadi orang Gestaltis yang mula-mula menghubungkan pekerjaan dengan proses belajar di kelas. Dari pengamatannya itu ia menyesalkan penggunaan menghafal di sekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian, bukan hafalan akademis.
Menurut pandangan Getaltis, semua kagitan belajar ( baik pada simpase maupun pada manusia ) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan anatara bagian dan keseluruhan. Menurut psikologi Gestalt, tingkah laku kejelasan belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman dan ganjaran.

B. Teori Belajar “ Cognitive- Field” dari Lewin
Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin ( 1892-1947) mengembangkan suatu teori belajar “ Cognitive- Field” dengan menaruh perhatian kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu sebagai berada di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis di mana individu beraksi disebut “ life space” mencakup perwujudan lingkungan di mana individu beraksi, misalnya Orang-orang ia jumpai, objek materil yang ia hadapi.
Lwin berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil iteraksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan; maupun dari luar diri individu seperti tantangan dan permasalahan. Menurut Lewin, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif ini adalah hasil dari dua macam kekuatan satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Lewin memberikan paranan yang lebih penting pada motivasi dari pada reward.

C. Teori Belajar “ Cognitive Development ”dari Piaget
Dalam teorinya, Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi intelektual dari kongkret menuju abstrak. Piaget adalah seorang psikolog “development” karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Dia adalah salah seorang psikolog yang suatu teori komprehensif tentang perkembangan intelegensi atau proses berpikir. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kualitiatif, melainkan kualitatif. Apabila ahli biologi menekankan penjelasan tentang pertumbuhan struktur yang memungkinkan individu mengalami penyesuaian diri dengan lingkungan, maka Piaget tekanan penyelidikannya lain. Piaget menyelidiki masalah yang sama dari segi penyesuaian atau adaptasi manusia serta meneliti perkembangan intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur intelektual terbentuk dalam individu akibat interaksinya dengan lingkungan.
Piaget memakai istilah “ scheme” secara “interchangably” dengan istilah struktur “ scheme”adalah pola tingkah laku yang dapat diulang “ Scheme” berhubungan dengan :
- Refleks-refleks pembawaan; misalnya bernafas, makan, minum.
- Scheme mental misalnya “sheme of classification”, “ scheme of operation” (pola tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap), dan “ scheme of operation” ( pola tingkah laku yang dapat diamati)
Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu:
1) Struktur, disebut juga “ scheme” seperti yang dikemukakan diatas. Isi disebut juga “content” yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah. Fungsi, disebut juga ‘ function” yang berhubungan dengan cara seseorang mencapai kemajuan intelktual. Fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi “ invariant” yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi: berupa kecakapan seseorang atau organisasi dalam menyusun proses-proses fesis dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheran.
Adaptasi : yaitu adaptasi individu terhadap lingkungan. Adaptasi ini terdiri dari dua macam proses komplermenter, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimillasi : Proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk menghadapi amasalah dalam lingkungannya. Sedangkan akomodasi, proses perubahan respon individu terhadap stimulasi lingkungan. Pengaplikasian di dalam belajar : perkembangan kognitif bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang beluim diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat menggantungkan diri pada asimilasi. Dengan adanya area baru ini siswa akan mengadakan uasaha untuk dapat mengakomodasikan. Situasi atau area itulah yang akan mempermudah pertumbuhan kognitif.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak mengandung tiga aspek yaitu: strctur, content, dan function. Anak yang sedang mengalami perkembangan, struktur dan konten intelektuanya berubah atau berkembang. Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan; masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan pikiran anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.
Tahap-tahap perkembangan Piaget:
1) kematangan
2) Pengalaman fisik atau lingkungan
3) Tranmisi sosia;
4) Eguilibrium atau self regulation

Selanjutnya ia membagi tingkat-tingkat perkembangan yaitu :
1) Tingkat sensori motoris : 0,0 – 2,0
2) Tingkat preoperasobal : 2,0 – 7,0
3) Tingkat operasi kongkret: 7,0 – 11,0
4) Tingkat operasi formal : 11,0
Penjelasan :
1. Tingkat sesori motoris
Bayi lahir refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak tidak mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan inderanya.
2. Tingkat preoperasional
Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal yang dapat dijumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja. Baru pada menjelang akhir tahun ke-2 anak telah memulai mengenal simbolk atau nama. Dalam hubungan ini Philips (1969) membagi atas (1) concretemss, (2) irreversibility (3) centering ( ini tanpak adanya egocerntrisme) ( 4) states vs Transformatiion dan (5) tranductive reasoning.
3. Tingkat operasi kongkret
Anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak. Kecakapan kognitif anak ( 1) combinativity classification, (2) reversibility ( 3) associativity (4) Identity ( 5) seriallizing. Anak mulai kurang egocentrisme-nya dan lebih socientris ( anak mulai membentuk peer group)
4. Tingkat operasi formal
Anak telah mempunyai pemikiran yang abstrak pada bentuk-bentuk lebih kompleks. Flavell (1963) memberikan ciri-ciri sebagai berikut:
a) Pada pemikiran abnak remaja adalah hypothetico deductive. Ia telah dapat membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problem dan membuat keputusan terhadap problem itu secara tepat, tetapi anak kecil belum dapat menyimpulkan apakah hipotesisnya ditolak atau diterima.
b) Periode propositional thinking
Remaja telah dapat memberikan statement atau proporsi berdasarkan pada data yang kongkret. Tetapi kadang-kadang ia berhadapan dengan proposi yang bertentangan dengan fakta.
c) Periode combinatorial thinking
Bila remaja itu mempertimbangkan tentang pemecahan problem ia telah dapat memisahkan faktor-faktor yang menyangkut dirinya dan mengombinasikan faktor-faktor itu.




D. Jerome Bruner dengan “Discovery Learning”nya
Yang menjadikan dasar ide J. Brune ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam kelas. Untuk itu, Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya “ discovery learning” yaitu dimana murid mengorganisasi bayhan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan reception learning atau expository taching dimana guru menerangkan semua informal dan murid harus mempelajari semua bahan atau informasi itu. Banyak pendapat yang mendukung discovery learning itu diantaranya : J. Dewey (1933) dengan “complete art of reflective activity “atau terkenal dengan problem solving. Ide Bruner itu ditulis dalam bukunya Process of education Di dalam buku itu ia melaporkan hasil dari suatu konferensi diantara para ahli science, ahli sekolah atau pengajaran dan pendidik tentang pengajaran science . Dalam hal ini ia mengemukakan pendapatnya, bahwa mata pelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat diberikan melalui cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat ke arah yang abstrak.

Dalam teori belajar ini berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinforcement”. Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran kognitif. Didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memeperoleh “insight”untuk pemecahan masalah. Jadi kaum kognitif berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada dalam suatu situasi. Keseluruhan adalah lebih daripada bagian-bagian. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.
Belajar kognitif ciri khasnya terletak dalam belajar memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk reppresentatif yang mewakili obyek-obyek itu di representasikan atau di hadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental, misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan keluar negeri, setelah kembali kenegerinya sendiri. Tampat-tempat yang dikunjuginya selama berada di lain negara tidak dapat diabawa pulang, orangnya sendiri juga tidak hadir di tempat-tempat itu. Pada waktu itu sedang bercerita, tetapi semulanya tanggapan-tanggapan, gagasan dan tanggapan itu di tuangkan dalam kata-kata yang disampaikan kepada orang yang mendengarkan ceritanya.

E. Fungsi kognitif
Sebagaimana dijelaskan di lain tempat,melalui fungsi kognitif manusia menghadapi obyek-obyek dalam bentuk-bentuk representatif yang menghadirkan obyek-obyek itu dalam kesadaran. Hal ini paling jelas nampak dalam aktivitas mental berfikir.
1) Taraf intelegensi-daya kreativitas Istilah “ intelegensi” dapat diartikan dengan dua cara yaitu:
a. Arti Luas : kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya berfikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti pergaulan sosial, teknis, perdagangan, pengaturan rumah tangga dan belajar di sekolah.
b. Arti Sempit : kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di dalamnya berpikir memegang peranan pokok intelegensi dalam arti ini, kerap disebut “ kemampuan intelektual “ atau “ kemampuan akademik”
Di dalam intelegensi terdapat beberapa komponen, seperti intelegensi sosial, intelegensi praktis, ineregensi teoristis. Komponen-komponen itu tidak berperan sama besar dalam memberikan prestasi di berbagai kehidupan, misdalnya dalam pergaulan sosial komponen intelegensi soaial berperan lebih banyak. Komponen-komponen itu juga tidak sama-sama kuat dalam intelegensi yang dimiliki seseorang, pada orang A komponen intelegensi teoristis lebih kuat, pada orang B komponen intelegensi praktis lebih kuat. Maka mungkin saja bahwa siswa A berprestasi lebih tinggi dalam semua bidang studi yang menuntut banyak pemikiran teoritis, sedangkan siswa B berprestasi lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang bersifat praktis (perbedaan inter individual). Bahkan siswa C mungkin lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang pertama dan berprestasi lebih rendah dalam semua bidang studi yang kedua (perbedaan intra-individual). Mengenai hakikat intelegensi, belum ada kesesuaian pendapat di antara para ahli. Variasi dalam pendapat nampak bila pandangan ahli satu dibandingkan dengan pendapat ahli yang lain, khususnya pendapat dari :
a. Terman : intelegensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak
b. Thorndike : intelegensi adalah kemampuan untuk menghubungkan reaksi tertentu dengan perangsang tertentu pula, misalnmya orang mengatakan “meja” bila melihat sebuah benda yang beraksi empat dan mempunyai permukaan yang datar. Maka makin banyak hubungan (koneksi) semacam itu yang dimiliki seseorang, makin intelegensi orang itu.
c. Spearman : intelegensi merupakan hasil perpaduan antara faktor umum dan sejumlah faktor khusus. Faktor umum ( faktor g) berperan dalam semua bentuk berprestasi, sedangkan faktror-faktor khusus ( S1, S2, S3 dan seterusnya) berperan dalam bentuk-bentuk berprestasi tertentu, seperti berkemampuan bahasa, berkemampuan matematis. Perpaduan itu adalah unik untuk setiap orang, sehingga nampak perbedaan itu adalah unik untuk setiap orang, sehingga nampak perbedaan antara orang yang satu dengan yang lain.
d. Thurstone : intelegensi merupakan kombinasi dari beberapa kemampuan dasar ( primary abilities). Kemampuan-kemampuan dasar itu disebut “ faktor-faktor utama” dan berjumlah tujuh, yaitu faktor bilangan, ingatan, penggunaan bahasa, kelancaran kata-kata, pemecahan problema, kecepatan.
e. Guilford : intelegensi merupakan perpaduan dari banyak faktor khusus. Dibedakan produk yang diperoleh sebagai hasil dari operasi tertentu terhadap materi tertentu. Pada dimensi yang pertama terdapat 5 faktor, pada dimensi yang kedua terdapat 6 faktor dan pada dimensi yang ketiga terdapat 4 fakator. Maka diperoleh jumlah faktor sebanyak 120, yaitu 5 x 6 x 4. rteori Guilford, tidak dapat diuraikan di sini, karena bersifat sangat kompleks. Pembaca yang berminat dapat mempelajari literatur yang membahas teori ini, misalnya J.P Guilford, The Nature og Human Integence, 1967.
f. Wechsler : intelegency adalah kemampuan untuk bertindak dengan mencapai suatu tujuan, untuk berfikir secara rasional dan untuk berhubungan dengan lingkungan secara efektif. Berdasarkan pengertian ini, disusun beberapa tes intelegensi yang sampai sekarang masih digunakan, misalnya “ Wechenler Intelegence Scale for Children, “ “Wechsler Adult Intelegence Scale,”
g. Binet : Intelegency adalah kemampuan untuk menetapkan dan mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan dan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri. Berdasarkan pengertian ini disusun tres intelegensi yang dikenal dengan nama “test stanford-Binet “ dan sampai sekarang masih digunakan.
h. Gardner : mengembangkan bahwa terdapat beberapa macam intelegensi yang dapat dibedakan yang satu dari yang lain. Dia mencatat bahwa kerusakan pada bagian otak tertentu mengakibatkan gangguan terhadap intelegensi yang satu, tetapi tidak terhadap intelegensi yang lain. Disamping itu dikemukakannya bahwa orang kerap mencolok dalam satu intelegensi, tetapi tidak menunjukkan kemampuan tinggi dalam intelegensi yang lain. Jumlah intelegensi yang disebutkan adalah tujuh yaitu kemampuan dalam penggunaan bahasa seperti disaksikan pada penyair dan jurnalistik;kemampuan dalam berfikir logis dan matematis seperti yang terdapat pada seorang ahli riset ilmiah dan seorang ahli matematika.
i. Sternberg : Teori triarkhis mengenai intelegensi artinya teori yang mengandung tiga bagian. Bagian pertama menyangkut berbagai proses mental yang menjadi komponen pokok dalam operasi mental terhadap representasi dari obyek0obyek dalam alam pkiran. Bagian kedua menyangkut kemampuan seorang untuk menghadapi tantangan baru secara efektif, dan mencapai taraf kemahiran dalam berfikir sehingga mudah berhasil dalam mengatasi segala permasalahan yang muncul. Bagian ketiga dalam teori Sternbeg menyoroti kemampuan untuk menempatkan diri sendiri dalam lingkungan yang memungkinkan akan berhasil, untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan itu dan untuk mengadakan perubahan terhadap lingkungan itu bila perlu. Kemampuan ini nampak, misalnya dalam ketetapan plihan karier, dalam kemudahan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan kerja dan dalam kelincahan pergaulan sosial.

Meskipun semua pandangan yang dikemukanan di atas sangat bervariasi kebanyakan psikologi dewasa ini cenderung sependapat bahwa tiga komponen inti dalam intelegensi adalah kemampuan untuk menangani representasi mental dalam alam pikiran seperti konsep dan kaidah (berfikir abstrak), kemampuan untuk belajar. Dari pihak lain adanya perbedaan dalam pandangan mengenai hakikat intelegensi, harus membuat tenaga kependidikan sangat hati-hati dalam membentuk pendapat di bidang ini. Bil seorang siwa dalam testing intelegensi di sekolah mendapat hasil yang tinggi ( IQ-nya tinggi), tidak harus berarti bahwa siswa yang bersangkutan sekaligus memiliki daya kreativitas bagi guru yang berfikir terlalu kaku dan tidak berani keluar dari jalur yang lazimnya yang tinbgi pula. Maklumlah , dalam testing intelegensi di sekolah, corak berfikir konvergen yang lebih berperanan.
Seorang siswa yang terbukti mempunyai IQ yang tinggi dan sekaligus mampu berpikir kreatif sekali, biasanya akan merepotkan guru, karena cendrung untuk berfikir kritis, menemukan pemecahan yang baru dan mengajukan pertanyaan yang sukar dijawab; dia merepotkan diikuti. Torrance telah mengembangkan dua macam tes yang pertama subyek dituntut untuk mengerjakan berbagai soal dengan menggunakan bahasa, misalnya memikirkan dan menyebutkan sebanyak subyek disuruh untuk mengerjakan beberapa tugas tanpa menggunakan bahasa.
Dalam macam tes yang kedua subyek disuruh untuk mengerjakan beberapa tugas tanpa menggunakan bahasa misalnya membuat sebuah gambar yang masing- masing memuat dua garis vertikal yang paralel. Semua soal itu diberi skor dalam tiga komponen, yaitu orisinalitas (sangat sedikit orang menghasilkan pikiran seperti itu), variasi (berapa jumlah jawaban yang berbeda), dan fleksibilitas (berapa jumlah golongan jawaban yang berbeda).
a. Bakat Khusus merupakan kemampuan yang menonjol di suatu bidang tertentu misalnya di bidang studi matematika atau bahasa asing. Orang sering berpendapat bahwa seua bakat khusus merupakan sesuatu yang langsung diturunkan oleh orang tua, misalnya bakat khusus di bidang matematika diperoleh dari orang tua melalui proses generasi biologis. Namun yang terakhir ini tidak akan nampak kalau tidak dikembangkan melalui pendidikan keluarga dan sekolah. Adanya bakat khusus di suatu bidang studi akademik, biasanya baru nampak jelas pada awal masa remaja, karena baru pada masa itu anak telah memperoleh cukup banyak pengalaman, sehingga terbentuk suatu bakat khusus.
b. Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah diupelajari, disimpan dalam ingatan; apakah tersimpan secara sistematis atau tidak. Hal ini bergantung pada cara materi dipelajari dan diolah;makin mendalam dn makin sistematis pengolahan materi pelajaran, makin baiklah taraf organisasi dalam ingatan itu sendiri.
c. Kemampuan berbahasa mencakup kemampuan untuk menangkap inti suatu bacaan dan merumuskan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh itu dalam bahasa yang baik, sekurang-kurangnya bahasa tertulis, Mengibgat kaitan yang ada antara berpikir yang tepat dan berbahasa yang benar, maka tidak mengherankan bahwa siswa yang kurang mampu berbahasa, tertinggal di belakang dibanding dengan siswa yang berbahasa baik.
d. Daya fantasi berupa aktivitas kognitif yang mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan, yang bersama-sama menciptakan sesuatu dalam alam kesadaran. Dalam alam fantasi orang tidak hanya menghadirkan kembali hal-hal yang perbnah diamati tyetapi menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya, tanggapan “semut sebesar gajah” bukanlah sesuatu yang pernah diamati, meskipun materi untuk tanggapan itu, yaitu semut dan gajah. Berasal dari pengalaman sensorik yang kongkret.
e. Daya fantasi mempunyai kegunaan kreatif, antisipatif, rekratif dan sosial. Fantasi dapat berguna dalam menciptakan sesuatu yang baru (Kreasi) dalam membayangkan kejadian mendatang dan mempersiapkan diri menghadapi kejadian itu ( antisipasi) dalam melepaskan diri dari ketegangan hidup sehari-hari (rekreasi) dan dalam menempatkan diri dalam situasi hiosup orang lain (sosial)
f. Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa. Gaya belajar mengandung beberapa koponen, antara lain gaya kognitif dan tipe belajar. Gaya kognitif adalah cara kognitif digunakan seseorang dalam mengamati dan beraktivitas mental di bidang kognitif. Cara khas ini bersifat sangat individual yang kerapkali tidak disadari dan sekali terbentuk, cendrung bertahan terus. Dewasa ini dibedakan empat gaya kognitif yaitu :
1. Kecendrungan untuk mengamati dan berpikir secara analisis. Sesuatu yang dipelajari ditinjau dari beberapa sidut dan seoalah-olah dibagi atas beberapa bagian yang masing-masing diperdalam, untuk kemudian digabung lagi. Gaya seperti ini dilawankan dengan kecendrungan untuk mempelajari sesuiatu secara global tanpa mengadakan peotongan atau pembagian.
2. Perbedaan antara kedua kecendrugan ini sangat mirip dengan apa yang dikenal sebagai ketergantungan pada medan (field dependency) lawan ketidak-ketergantungan pada medan (field-independent). Dalam hal yang pertama orang cendrung memandang suatu pola sebagai keseluruhan dan kerap lebih berorientasi pada sesama manusia serta hubungan sosial. Oleh karena itu guru yang sungguh-sungguh mengenal kepribadian masing-masing siswa, harus mendampinginya dalam memanfaatkan kelebihannya serta mengatasi kelemahannya..
3. Ketahanan terhadap kecendrungan untuk meninggalkan arah atau cara yang telah diplih dalam mempelajari sesuatu. Sekali dipilih suatu cara yang dinilai tepat apakah cara itu mudah ditinggalkan untuk diganti dengan cara lain yang nampaknya lebih mudah, tetapi sebanarnya kurang tepat.
4. Luas sempitnya pembentukan pengertian (konseptualisasi) apakah seseorang cenderung untuk membentuk konsep-konsep yang luas atau yang lebih terbatas. Yang pertama mencakup banyak hal sekaligus yang kedua mencakup beberapa hal saja.
5. Keendrungan untuk sangat memperhatikan perbedaan antara obyek-obyek atau kurang meperhatikannya. Hal initerutama menyangkut pengamatan yang dalam belajar dapat memegang peranan penting.
6. Kecendrungan ini mungkin dipengaruhi oleh gaya kognitif yang mendfasari yaitu bereaksi dengan sangat cepat, namun kurang tepat (impulsif) atau bereaksi dengan lebih lamban tetapi tepat( refleksif). Dengan meningkatknya umur anak pada umumnya menjadi lebih refleksif, namun anak yang sejak umur muda cendrung bera\eaksi dengan cepat tidak akan berbalik menjadi orang yang angat bereakasi refleksif siswa yang cendrung untuk terlalu inplusif dalam berpersepsi dan mengerjakan tugas-tugas belajar, harus dibantu untuk bekerja dengan lebih lambat, mialnya dengan menganjurkan supaya membaca soal dalam tes secara teliti dan menjawabnya secara terencana.
7. Tipe belajar menunjuk pada kecendrungan seseorang untuk mempelajari seauatu dengan cara yang lebih visual atau lebih auditif. Siswa yang tergolong tipe visual cendrung lebih mudah belajar bila materi pelajaran dapat dilihat atau dituangkan dalam bentuk gambar, bagan, duagram dan lain sebagainya. Namun tidak semua siswa akan jelas trgolong kedalam salah satu tipe; mungkin saja seorang siswa akan menyesuaikan tipe belajarnya dengan materi pelajaran yang dihadapi. Adapula siswa yang tidak bertipe belajar apa pun dan mengalami kesulitan, baik dalam menglah materi pelajaran secara visual maupun secara auditif.
g. Teknik0teknik studi atau cara-cara belajar secara efisien dan efektif jelas membantu siswa dalam belajar lebih-lebih bila belajar diu rumah. Siswa yang telah terbiasa mengikuiti cara belajar yang tepat akan meningkatkan kemampuan belajar. Sebagaimana dikatakan oleh Van Parreren, siswa yang tidak berkemampuan intelektual tinggi pun dapat belajar menggunakan cara belajar yang tepat .
Pertanyaan yang perlu dijawab ialah ampai berapa jauh butrir (1) sampai (7) dapat berubah lebih-lebih hal yang menguntungkan bagi siswa selama proses belajar mengajar menjadi lebih baik misalnya teknik-teknik studi dan kemampuan berbahasa, daya fantasi dan teknik studi, dapat dipengaruhi secara positif atau ditingkatkan oleh guru dan siswa sendiri. Selama proses-proses belajar-mengajar dalam kurun waktu cukup lama, guru mendapat kesempatan untuk membantu siswa untuk menibgkatkan semua itu. Sehingga lama kelamaan keadaan siswa, dibidang kognitif, menjadi lebih baik. Dengan demikian siswa memperoleh bekal yang lebih menguntungkan bagi belajar di masa yang akan datang. Siswa sendiri dapat melatih diri di luar proses belajar mengajar di sekolah, misalnya pada waktu mengerjakan pekerjaan rumah, dengan dibantu oleh keluarga. Namun, usaha-usaha itu harus dimulai seawal mungkin, sejak siswa masuk sekolah dasar.
Usaha peningkatan yang baru dimulai pada waktu siswa sampai di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, memberikan harapan kecil akan menghasilkan perbaikan yang berarti. Mengenai kemungkinan mempengaruhi gaya belajar, para ahli berbeda pendapat, ada yang mengatakan, bahwa gaya belajar sudah terbentuk pada waktu anak akan masuk Sekolah Dasar dan ada yang masih menerima kemungkinan itu selama tahun-tahun sesudah masuk Sekolah Dasar. Mengenai kemungkinan meningkatkan taraf intelegensi , para ahli cenderung berpadangan agak optimis, kalau dilakukan sebelum anak masuk Sekolah Dasar. Kemunginan itu dianggap menjadi lebih kecil, bila siswa berada pada tahap pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Setelah siswa masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, peningkatan yang berarti kiranya tidak dapat diharapkan, lebih-lebih sebelumnya hal itu sama sekali tidak diusahakan. Bahkan ada pengarang yang berpendapat bahwa taraf intelegensi, sejauh diukur dalam tes intelegensi umum (General Intelligence Test), tidak dapat diharapkan akan meningkat secara berarti sesudah umur 10 tahun, misalnya Benyamin Bloom dalam bukunya Human Charetersitic and School Learning

BAB III
APLIKSASI TEORI BELAJAR KOGNITIF DALAM PEMBELAJARAN
A. Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru
mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik.
Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi
dengan teman-temanya.
Pengaplikasian teori kognitif dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja.dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.
B. Peran pendidik dan peserta didik
Peran pendidik dan peserta didik
- Guru sebagai demonstrator
- Guru sebagai mediator dan fasilitator
- Guru sebagai evaluator
Guru secara umum berperan sebagai:
Pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partissipan, ekspeditor, perencana,suvervisor,motivator,penanya,evaluator dan konselor. Selain peran yang telah disebutkan di atas, hal yang perlu dan penting dimiliki oleh pendidik yaitu pendidik harus mengetahui psikologis mengenai peserta didik. Suryabrata : 2004)

Peran peserta didik belajar mandiri memposisikan pebelajar sebagai subyek, pemegang kendali, pengambil keputusan atau pengambil inisiatif atas belajarnya sendiri.
C. Pendekatan dan Metode Pembelajaran
a. Pendekatan Belajar
Banyak pendekatan belajar yang dapat digunakan oleh para guru kepada para siswanya unttuk mempelajari bidang studi atau materi pelajaran yang sedang mereka tekuni, dari yang paling klasik sampai yang paling modern. Di antaranya:
1). Pendekatan Hukum Jost
Menurut Reber (1988), salah satu asumsi penting yang mendasari Hukum Jost (Jost’s Law) adalah siswa yang lebih sering mempraktikkan materi pelajaran akan lebih mudah memanggil kembali memori lama yang berhubungan dengan materi yang sedang ia tekuni. Selanjutnya, berdasarkan asumsi Hukum Jost itu maka belajar dengan kiat 5 x 3 adalah lebih baik daripada 3 x 5 walaupun hasil perkalian kedua kiat tersebut sama.
2). Pendekatan Ballard & Clanchy
Menurut Ballard & Clanchy (1990), pedekatan belajar siswa pada umumnya dipengaruhi oleh sikap terhadap ilmu pengetahuan (attitude to knowledge). Ada dua macam siswa dalam menyikapi ilmu pengetahuan, yaitu: 1) sikap melestarikan apa yang sudah ada (conserving); dan 2) sikap memperluas (extending).
3). Pendekatan Biggs
Menurut hasil penelitian Biggs (1991), pendekatan belajar siswa dapat dikelempokkan ke dalam tiga prototype (bentuk dasar).
1) Pendekatan surface (permukaan/bersifat lahiriah)
2) Pedekatan deep (mendalam)
3) Pendekatan achieving (pencapaian prestasi tinggi).
b. Metode Belajar
Metode secara etimologi berarti “cara”. Dalam pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai cara melakukan suatu kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis. Dalam dunia psikologi, metode berarti prosedur sistematis (tata cara yang berurutan) yang biasa diguanakan untuk menyelidiki fenomena atau gejala-gejala kejiwaan seperti metode klinik, metode eksperimen, dan sebagainya. Selanjutnya, yang dimaksud dengan metode belajar ialah cara yang berisi prosedur baku untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran. Ragam dan jumlah metode belajar sesungguhnya banyak sekali dan hampir tidak dapat dihitung dengan jari, mulai dari yang paling tradisional sampai yang paling modern. Berikut ini penyusun sajikan sebuah metode belajar untuk mempelajari teks (wacana), khususnya yang terdapat dalam buku, artikel ilmiah, dan laporan penelitian. Kiat yang secara spesifik dirancang untuk memahami isi teks itu disebut SQ3R yang dikembangkan oleh Francis P. Robinson di Universitas Negeri Ohio Amerika Serikat. Metode ini bersifat praktis dan dapat diaplikaikan dalam berbagai pendekatan belajar.
SQ3R pada prinsipnya merupakan singkatan langkah-langkah mempelajari teks yang meliputi:
1. Survey, maksudnya memeriksa atau meneliti atau mengidentifikasi seluruh teks. Dalam melakukan aktivitas survey guru perlu membantu mendorong siswa untuk memeriksa atau meneliti secaa singkat seluruh struktur teks. Tujuannyaaga siswa mengetahui panjangnya teks, judul bagian (heading) dan judul subbagian (sub-heading), istilah dan kata kunci, dan sebagainya.
2. Question, ialah menyususn daftar pertanyaan yang relevan dengan teks. Dalam hal ini guru diharapkan berperan untuk memberi petunjuk atau contoh kepada para siswa untuk menyusu pertanyaan-pertanyaan yang jelas, singkat dan relevan dengan bagian-bagian teks yang telah ditandai pada langkah pertama.
3. Read, maksudnya membaca teks secara aktif untuk mencari jawabatas petanyaan-pertanyaan yang telah tersusun. Dalam hal ini membaca aktif juga berarti membaca yang difokuskan pada paragraph-paragraf yang diperkirakan mengandung jawaban-jawaban yang diperkirakan relevan dengan pertanyaan-pertanyaan tadi.
4. Recite, menghafal setiap jawaban yang telah ditemukan. Dalam kegiatan ini guru menyuruh kepada para siswanya untuk menyebutkan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang telah tersusun tanpa membuka catatan dari jawaban tersebut.
5. Review, meninjau ulang seluruh jawaban atas pertanyaan yang tersusun pada langka kedua dan ketiga.
D. Materi dan Sumber Belajar
a. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran (instructional materials) adalah bahan yang diperlukan untuk pembentukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dikuasai siswa dalam rangka memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan. Materi Pembelajaran menempati posisi yang sangat penting dari keseluruhan kurikulum, yang harus dipersiapkan agar pelaksanaan pembelajaran dapat mencapai sasaran Materi yang dipilih untuk kegiatan pembelajaran hendaknya materi yang benar-benar menunjang tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar .
Jenis-Jenis Materi Pembelajaran
Materi fakta adalah segala hal yang bewujud kenyataan dan kebenaran, meliputi nama-nama obyek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama bagian atau komponen suatu benda, dan sebagainyaContoh :Mata Pelajaran Sejarah : Peristiwa sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pembentukan pemerintahan Indonesia.
Materi konsep adalah segala yang berwujud pengertian-pengertian baru yang bisa timbul sebagai hasil pemikiran, meliputi definisi, pengertian, ciri khusus, hakekat, inti /isi dan sebagainya. Contoh :Mata Pelajaran Biologi : Hutan hujan tropis di Indonesia sebagai sumber plasma nutfah, Usaha-usaha pelestarian keanekargaman hayati Indonesia secara in-situ dan ex-situ., dsb.
Materi prinsip adalah berupa hal-hal utama, pokok, dan memiliki posisi terpenting , meliputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema, serta hubungan antar konsep yang menggambarkan implikasi sebab akibat. Contoh :Mata Pelajaran Fisika : Hukum Newton tentang gerak , Hukum 1 Newton , Hukum 2 Newton , Hukum 3 Newton , Gesekan statis dan Gesekan kinetis, dsb.
Materi Prosedur meliputi langkah-langkah secara sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu aktivitas dan kronologi suatu sistem. Contoh : Mata Pelajaran TIK : Langkah-langkah Akses Internet, trik dan strategi penggunaan Web Browser dan Search Engine,
Materi Sikap atau nilai merupakan hasil belajar aspek afektif, misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, tolong-menolong, semangat dan minat belajar dan bekerja, dsb. Contoh : Mata Pelajaran Geografi : Pemanfaatan sumberdaya alam berdasarkan prinsip ekoefisiensi, Pemanfaatan sumberdaya alam dan pembangunan berkelanjutan, dsb.
Mata Pelajaran Sosiologi : Interaksi sosial dan dinamika sosial, Sosialisasi dan pembentukan kepribadian.
b. Sumber Belajar
AECT menguraikan bahwa sumber belajar meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan. Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan dengan dengan cara yaitu dilihat dari keberadaan sumber belajar yang direncanakan dan dimanfaatkan. Sumber belajar adalah bahan termasuk juga alat permainan untuk memberikan informasi maupun berbagai keterampilan kepada murid maupun guru (Sudono, 2000:7).
Hamalik (1994:195), menyatakan bahwa sumber belajar adalah semua sumber yang dapat dipakai oleh siswa, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan siswa lainnya, untuk memudahkan belajar.
Mudhofir (1992:13) menyatakan bahwa yang termasuk sumber belajar adalah berbagai informasi, data-data ilmu pengetahuan, gagasan-gagasan manusia, baik dalam bentuk bahan-bahan tercetak (misalnya buku, brosur, pamflet, majalah, dan lain-lain) maupun dalam bentuk non cetak (misalnya film, filmstrip, kaset, videocassette, dan lain-lain).
Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan guru maupun siswa dalam mempelajari materi pelajaran, sehingga memudahkan siswa dalam memahami materi pelajaran tersebut.
1. Macam-macam Sumber Belajar
AECT menguraikan bahwa sumber belajar meliputi: pesan, orang, bahan, alat, teknik dan lingkungan. Komponen-komponen sumber belajar yang digunakan di dalam kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan menjadi dua, yakni sumber belajar yang sengaja direncanakan dan sumber belajar yang dimanfaatkan. Penjelasan kedua hal tersebut sebagai berikut:
1.1 Sumber belajar yang sengaja direncanakan (by design) yaitu semua sumber belajar yang secara khusus telah dikembangkan sebagai komponen sistem instruksional untuk memberikan fasilitas belajar yang terarah dan bersifat formal.
1.2 Sumber belajar karena dimanfaatkan (by utilization) yaitu sumber belajar yang tidak secara khusus didesain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan, diaplikasi, dan digunakan untuk keperluan belajar (Satgas AECT, 1986:9).
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa sumber belajar merupakan salah satu komponen sistem instruksional yang dapat berupa: pesan, orang, bahan, peralatan, teknik dan latar (lingkungan). Sumber belajar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Pesan, adalah pelajaran/informasi yang diteruskan oleh komponen lain dalam bentuk ide, fakta, arti, dan data.
2) Orang, mengandung pengertian manusia yang bertindak sebagai penyimpan, pengolah, dan penyaji pesan. Tidak termasuk mereka yang menjalankan funsgi pengembangan dan pengelolaan sumber belajar.
3) Bahan, merupakan sesuatu (bisa pula disebut program atau software) yang mengandung pesan untuk disajikan melalui penggunaan alat ataupun oleh dirinya sendiri.
4) Alat, adalah sesuatu (biasa pula disebut hardware) yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang tersimpan di dalam bahan.
5) Teknik, berhubungan dengan prosedur rutin atau acuan yang disiapkan untuk menggunakan bahan, peralatan, orang, dan lingkungan untuk menyampaikan pesan.
6) Lingkungan, merupakan situasi sekitar di mana pesan diterima (Mudhoffir, 1992:1-2).
Semiawan (1992:96) menyatakan bahwa sebenarnya kita sering melupakan sumber belajar mengajar yang terdapat di lingkungan kita, baik di sekitar sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Betapapun kecil atau terpencil, suatu sekolah, sekurang-kurangnya mempunyai empat jenis sumber belajar yang sangat kaya dan bermanfaat, yaitu:
1) Masyarakat desa atau kota di sekeliling sekolah.
2) Lingkungan fisik di sekitar sekolah.
3) Bahan sisa yang tidak terpakai dan barang bekas yang terbuang yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan, namun kalau kita olah dapat bermanfaat sebagai sumber dan alat bantu belajar mengajar.
4) Peristiwa alam dan peristiwa yang terjadi di masyarakat cukup menarik perhatian siswa. Ada peristiwa yang mungkin tidak dapat dipastikan akan terulang kembali. Jangan lewatkan peristiwa itu tanpa ada catatan pada buku atau alam pikiran siswa.
Secara umum, sumber belajar dapat berupa:
1) Barang Cetak, seperti kurikulum, buku pelajaran, Koran, majalah, dan lain-lain.
2) Tempat, seperti: sekolah, perpustakaan, museum, dan lain-lain
3) Nara sumber/orang, seperti: guru, tokoh masyarakat, instruktur, dan lain-lain.
Jenis-jenis sumber belajar tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lain dalam proses belajar-mengajar dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Dengan demikian hasil belajar peserta didik pada dasarnya merupakan interaksi antara komponen system instruksional dengan peserta-peserta didik.

2. Tujuan dan Fungsi Sumber Belajar
Penggunaan sumber belajar bertujuan untuk:
1) Menambah wawasan pengetahuan siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan guru,
2) Mencegah verbalistis bagi siswa,
3) Mengajak siswa ke dunia nyata,
4) Mengembangkan proses belajar-mengajar yang menarik, dan
5) Mengembangkan berpikir divergent pada siswa (Semiawan, 1992:97)
Pemanfaatan sumber belajar sudah barang tentu akan menambah wawasan pengetahuan siswa. Melalui sumber belajar, pemahaman siswa mengenai suatu materi pelajaran akan bertambah. Hal tersebut sekaligus akan mencegah verbalistis bagi siswa. Dengan pemanfaatan sumber belajar maka siswa tidak hanya mengetahui materi pelajaran dalam bentuk kata-kata saja, namun secara komprehensif akan mengetahui substansi dari materi yang dipelajari. Sumber belajar juga bertujuan mengajak siswa ke dunia nyata. Dalam pengertian, siswa tidak hanya berada dalam bayangan-bayangan suatu materi akan tetapi melalui sumber belajar, siswa langsung dihadapkan ke dunia nyata, yaitu suatu situasi yang berhubungan langsung dengan materi pelajaran. Pemanfaatan sumber belajar juga bertujuan mengembangkan proses belajar-mengajar yang menarik. Dalam pengertian, melalui pemanfaatan sumber belajar sudah barang tentu proses belajar-mengajar lebih aktif dan interaktif. Hal menarik yang dapat dijumpai ketika guru memanfaatkan sumber belajar adalah adanya interaksi banyak arah, yakni antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa dan guru. Berpikir divergent merupakan suatu aktivitas berpikir di mana siswa mampu memberikan alternatif jawaban dari suatu permasahalan yang dibahas. Melalui pemanfaatan sumber belajar diharapkan siswa mampu berpikir divergent.
Adapun fungsi sumber belajar sebagai:
1) sarana mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan,
2) mengeratkan hubungan antara siswa dengan lingkungan,
3) mengembangkan pengalaman dan pengetahuan siswa,
4) membuat proses belajar-mengajar lebih bermakna (Semiawan,1992:100).
Keterampilan memproses perolehan mengacu pada sesuatu yang dapat diperoleh ketika guru memanfaatkan sumber belajar. Oleh karena itu, fungsi sumber belajar sebagai sarana mengembangkan keterampilan memproseskan perolehan berhubungan dengan aktivitas guru dalam memanfaatkan sumber belajar. Dalam pengertian, ketika guru memanfaatkan sumber belajar sudah barang tentu harus ada sesuatu yang dapat diperoleh oleh siswa. Fungsi sumber belajar lainnya adalah mengeratkan hubungan siswa dengan lingkungan. Hal tersebut berhubungan dengan pemanfaatan sumber belajar yang dilakukan guru. Semakin guru memanfaatkan sumber belajar yang berasal dari lingkungan sekitar, maka siswa semakin dekat dengan lingkungannya. Pengalaman dan pengetahuan siswa akan materi pelajaran yang dipelajari merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, keberadaan sumber belajar berfungsi untuk mengembangkan pengalaman dan pengetahuan siswa. Melalui pemanfaatan sumber belajar, maka pengalaman dan pengetahuan siswa akan lebih berkembang. Fungsi sumber belajar yang membuat proses belajar-mengajar lebih bermakna, berhubungan dengan aktivitas guru dalam memanfatakan sumber belajar. Melalui pemanfaatan sumber belajar yang tepat, maka guru dapat membuat proses belajar-mengajar lebih bermakna. Artinya, guru mampu mengelola proses belajar-mengajar yang berpusat pada siswa, bukan proses belajar-mengajar yang berpusat pada guru.


DAFTAR PUSTAKA

Nasution, S. 1982. BERBAGAI PENDEKATAN DALAM PROSES BELAJAR DAN MENGAJAR. Bumi Aksara : Bandung

Soemanto, Wasty. 1983. PSIKOLOGI PENDIDIKAN. Rineka Cipta : Malang

http://episentrum.com/search/guna%20pentingnya%20teori%20belajar. Layanan Psikologi untuk Anak, Remaja dan Dewasa (Psychology of Kid, Adolescence and Adult)

Jumat, 17 Juni 2011

PENANGANAN SAMPAH DI UPTD TPSA KARANG REJO



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sampah sebaiknya dibuang di TPA (Tempat Pembuangan Ahir) untuk dikelola lebih lanjut. Untuk sampai ke TPA tentunya perlu mekanisme penanganan yang terpadu. Bermula dari sampah yang dikumpulkan di rumah kemudian di buang di TPS ( Tempat Pengumpulan Sementara) yang selanjutnya di angkut ke TPA untuk dikelola lebih lanjut. Bagi pemukiman yang dapat dijangkau pelayanan Dinas Kebersihan setempat tidak menjadi masalah yang berarti, cukup membayar retribusi sampah dan kumpulkan sampah di TPS, maka sampah akan sampai di TPA  untuk dikelola lebih lanjut.
Bagi pemukiman yang belum dapat dijangkau oleh pelayanan Dinas Kebersihan, sebaiknya agar pemukiman terhindar dari hal hal yang tak diharapkan akibat dampak sampah, maka sudah saatnya memiliki layanan pembuangan sampah sendiri. Hal ini tentunya dapat diusulkan ke Pemerintahan Desa/Kelurahan. Yang penting adanya potensi yang mendukung untuk lancarnya pengelolaan sampah yang baik memenuhi syarat kesehatan.  Dimulai dengan skala kecil, misalnya  melayani hanya beberapa wilayah RT atau RW yang penting ada komitmen antara warga dan Pemerintahan setempa
B. Rumusan Masalah
1. Sampah dapat berperan sabagai wadah penyebaran  vektor penyakit.
2. Pada suatu ketika sampah dapat menimbulkan pencemaran udara
3. Dalam kurun waktu tertentu sampah dapat menimbulkan pencemaran pada air dan
    tanah
4. Dalam kurun waktu tertentu sampah dapat menimbulkan gangguan estetika
5. Pada akhirnya sampah menimbulkan gangguan sosial.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemerintah Kota Metro melakukan pengelolaan sampah yang dipusatkan di UPTD TPSA ( Unit Pelaksana Teknis Daerah Tempat Pembuangan Sampah Akhir ) 23 Karangrejo Metro Utara.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini mempunyai manfaat bagi Mahasiswa dan juga untuk pengelola UPTD TPSA.
a.      Bagi Mahasiswa :
1.      Mahasiswa dapat mengetahui gambaran yang lebih jelas tantang sampah dan pengelolaanya sehingga mahasiswa akan lebih mawasdiri kaitannya dengan sampah.
2.      Mahasiswa dapat lebih berhati-hati dalam bertindak terhadap sampah karena telah menyaksikan pegelolaan sampah yang begitu panjang.
b.      Bagi Pemerintah
Dalam hal ini pemerintah yang dimaksud adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah Tempat Pembuangan Sampah Akhir, dengan adanya penelitian ini UPTD TPSA dapat berintrospeksi diri dalam pengelolaan sampah, selain itu dengan adanya penelitian ini dapat digunakan sebagai momen untuk berkaca apakah pengelolaan sampah yang dilakukan sudah sesuai dengan prosedur pengelolaan sampah standar kesehatan.






BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1. SAMPAH
1.1              Definisi Sampah
Sampah adalah bahan yang tidak mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembikinan manufaktur atau materi berkelebihan atau ditolak atau buangan”. (Kamus Istilah Lingkungan, 1994). “Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis.” (Istilah Lingkungan untuk Manajemen, Ecolink, 1996). “Sampah adalah sesuatu yang tidak berguna lagi, dibuang oleh pemiliknya atau pemakai semula”.
1.2 Jenis Sampah
         Berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan sebagai :
1. Sampah Organik terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam atau dihasilkan dari kegiatan pertanian, perikanan atau yang lain. Sampah ini dengan mudah diuraikan dalam proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa tepung, sayuran, kulit buah, dan daun.

2. Sampah Anorganik Sampah Anorganik berasal dari sumber daya alam tak terbarui seperti mineral dan minyak bumi, atau dari proses industri. Beberapa dari bahan ini tidak terdapat di alam seperti plastik dan aluminium. Sebagian zat anorganik secara keseluruhan tidak dapat diuraikan oleh alam, sedang sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang sangat lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga, misalnya berupa botol, botol plastik, tas plastik, dan kaleng.
1.3 Penanganan Sampah
Masalah sampah di hampir semua kota di Indonesia makin terbuka ke permukaan. Lembaga NGO Posko Hijau ( dulu pernah melakukan Gerakan Darurat Penanganan Sampah Kota ) yang didirikan oleh Askindo Jawa Barat, Forum RW Kota Bandung, HKTI Kota Bandung, Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia ( APPKMI )dan Asosiasi UPPKS (AKU) Jawa Barat - bertujuan untuk ikut memberi sumbangan pemikiran dan berbagi pengalaman bagi perobahan paradigma dalam pengolahan sampah.

Sampah harus dibuat ukuran kecil-kecil ( sekitar 10-15 mm) dengan cara dirajang atau di choper. Masukan ke dalam wadah pencampuran seperti container atau tembok persegi empat atau langsung kedalam Komposter ( Rotary Kiln) . Di tempat lain, siapkan larutan mikroba Green Phoskko® ( bakteri aktinomycetes- spesies aktinomyces naeslundii, Lactobacillus spesies delbrueckii, Bacillus Brevis, Saccharomyces Cerevisiae, ragi, dan jamur serta Cellulolytic Bacillus Sp) sebanyak 1 kg, molases atau gula pasir sekitar 9 sendok makan dan larutkan dalam air sebanyak 50-100 liter. Aduk hingga merata dan simpan 2-4 jam. Setelah diperkirakan terlarut, siramkan larutan Green Phoskko® Activator keatas tumpukan sampah organik dalam komposter. Kemudian campurkan penggembur ( bulking agent) Green Phoskko® sebanyak 30 kg dan aduk hingga merata dengan cara mengayuh rotary yang tersedia.

Setelah 1 - 2 hari kemudian akan terjadi reaksi panas, jika diukur dengan menggunakan thermometer, suhunya diatas 55 derajat Celcius, lakukan penggembosan udara ( oksigen) dengan cara memutar aerator ( exhaust fan) yang ada disisi alat mesin ini. Hingga hari ke 3 sampai ke 5, reaksi dekomposisi tersebut akan terjadi dengan tanda-tanda tabung (tube) komposter panas ( hingga 70 derajat Celcius) serta keluarnya sedikit uap, dan lakukan penggembosan udara - melalui pemutaran exhaust fan- setiap kali sebelum suhu udara melewati 55 derajat celcius. Pada hari ke 5 sampai ke 7 jika diukur suhunya sudah dibawah 30 derajat C atau dianggap sudah dingin, keluarkan bahan kompos dari dalam komposter dan simpan di tempat teduh serta tutup dengan karung kemasan ( PE) untuk diangin-anginkan, dapat juga dimasukan dalam karung PE dan ditumpuk di tempat yang teduh. Sekitar 7 hari kemudian, bahan kompos akan kering dan gembur. Ayak hingga terpisahkan antara butir lolos mess 100 dengan bahan ukuran besar. Gundukan butiran kecil masukan kedalam kemasan sesuai yang direncanakan. Kini anda memiliki kompos buatan anda sendiri untuk siap dijual maupun langsung digunakan bagi tanaman pekarangan anda.   

      Komposter Rotary Klin bisa dioperasikan secara komersil sebagai Instalasi Pengolahan Kompos Kota ( IPKK) pada Tempat Pembuangan Sampah Sementara ( TPS), pasar induk, lingkungan perumahan, kelurahan dan kawasan komersial ( mall, perkantoran, area kantin pabrik, hotel, restoran) atau bisa juga dipindah sesuai keperluan (mobile). IPKK dengan alat mesin Komposter Rotary Kiln ini akan memberi pendapatan bagi siapapun yang ingin memanfaatkan sampah kota di sekitar tempat tinggalnya seperti pensiunan, perusahaan, hotel, restaurant, koperasi karyawan, koperasi pasar, pengusaha UKM dan siapapun yang berminat melakukan usaha kompos dengan memanfaatkan sampah kota khususnya. Petugas yang dibutuhkan cukup 1 ( satu) orang untuk memproses bahan, monitoring suhu, membalik bahan dalam komposter, mengayak serta mengemas kompos.
2. TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH
2.1 Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) ialah tempat untuk menimbun sampah dan merupakan bentuk tertua perlakuan sampah. TPA dapat berbentuk tempat pembuangan dalam (di mana pembuang sampah membawa sampah di tempat produksi) begitupun tempat yang digunakan oleh produsen. Dahulu, TPA merupakan cara paling umum untuk limbah buangan terorganisir dan tetap begitu di sejumlah tempat di dunia. Sejumlah dampak negatif dapat ditimbulkan dari keberadaan TPA. Dampak tersebut bisa beragam: musibah fatal (mis., burung bangkai yang terkubur di bawah timbunan sampah); kerusakan infrastruktur (mis., kerusakan ke akses jalan oleh kendaraan berat); pencemaran lingkungan setempat (seperti pencemaran air tanah oleh kebocoran dan pencemaran tanah sisa selama pemakaian TPA, begitupun setelah penutupan TPA); pelepasan gas metana yang disebabkan oleh pembusukan sampah organik (metana adalah gas rumah kaca yang berkali-kali lebih potensial daripada karbon dioksida, dan dapat membahayakan penduduk suatu tempat); melindungi pembawa penyakit seperti tikus dan lalat, khususnya dari TPA yang dioperasikan secara salah, yang umum di Dunia Ketiga; jejas pada margasatwa; dan gangguan sederhana (mis., debu, bau busuk, kutu, atau polusi suara
2.2 Kriteria penentuan lokasi pembuangan sampah
Penentuan tempat akhir pembuangan (TPA) sampah harus mengikuti persyaratan dan  ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah melalui SNI nomor 03-3241-1994 tentang tata cara pemilihan lokasi TPA sampah. Kriteria penentuan lokasi TPA sampah sudah pernah dikaji oleh tim peneliti dari Kelompok Keilmuan Inderaja dan SIG serta peneliti dari Pusat Penginderaan Jauh ITB dengan rekan-rekan dari Teknik Lingkungan ITB untuk studi kasus cekungan Bandung.
Persyaratan didirikannya suatu TPA ialah bahwa pemilihan lokasi TPA sampah harus mengikuti persyaratan hukum, ketentuan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, analisis mengenai dampak lingkungan, ketertiban umum, kebersihan kota / lingkungan, peraturan daerah tentang pengelolaan sampah dan perencanaan dan tata ruang kota serta peraturan-peraturan pelaksanaannya.
Adapun ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi untuk menentukan lokasi TPA ialah sebagai berikut (SNI nomor 03-3241-1994 ) :
 1. Ketentuan Umum
Pemilihan lokasi TPA sampah harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
1.      TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai, dan laut.
2.      Penentuan lokasi TPA disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu :
a.       Tahap regional yang merupakan tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan.
b.       Tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional.
c.        Tahap penetapan yang merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh instansi yang berwenang.
3.  Jika dalam suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah. 
2. Kriteria
Kriteria pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian :
a. Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona layak atau tidak layak sebagai berikut :
1.  Kondisi geologi
a. tidak berlokasi di zona holocene fault.
b.      tidak boleh di zona bahaya geologi.
2. Kondisi hidrogeologi
a.      tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter.
b.      tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm / det.
c.      jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di     
hilir aliran. dalam hal tidak ada zona yang memenuffi kriteria-kriteria    tersebut diatas, maka harus diadakan masuJkan teknologi.
3.  Kemiringan zona harus kurang dari 20%.
4.  Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan turbojet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain
5.  Tidak boleh pada daerah lindung / cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25 tahun
b. Kriteria penyisih, yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi terbaik yaitu terdiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut :
1. Iklim
a) hujan intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik
b) angin : arah angin dominan tidak menuju ke pemukiman dinilai makin baik
2. Utilitas : tersedia lebih lengkap dinilai lebih baik
3. Lingkungan biologis :
a) habitat : kurang bervariasi dinilai makin baik
b) daya dukung : kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik
4. Kondisi tanah
a) produktivitas tanah : tidak produktif dinilai lebih tinggi
b) kapasitas dan umur : dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama dinilai lebih baik
c) ketersediaan tanah penutup : mempunyai tanah penutup yang cukup dinilai lebih baik
d) status tanah : makin bervariasi dinilai tidak baik
5. Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah dinilai makin baik
6. Batas administrasi : dalam batas administrasi dinilai makin baik
7. Kebisingan : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
    Bau : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik
9. Estetika : semakin tidak terlihat dari luar dinilai makin baik
10. Ekonomi : semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3 / ton)    
     dinilai semakin baik.

c.  Kriteria penetapan, yaitu kriteria yang digunakan oleh instansi yang berwnang untuk menyetujui dan menetapkan lokasi terpilih sesuai dengan kebijaksanaan instansi yang berwenang setempat dan ketentuan yang berlaku.
B. Anggapan Sementara
1. Sampah Kota Metro paling banyak bersumber dari limbah pasar tradisional/ pasar
    sayur.
2. Sampah yang ada dikelola terlebih dahulu agar tidak membahayakan lngkungan.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Teknik Pengambilan Data
Teknik pengambilan data yang digunakan pada penelitian ini adalah pengamatan langsung, yang dilakukan dengan mendatangi  langsung tempat UPTD TPSA di Desa Karangrejo 23 Metro Utara.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Waktu         : Penelitian ini dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 11 April 2010 pukul 15.20 sampai 17.05 WIB.

2. Tempat        : Penelitian ini dilaksanakan di Tempat Pembuangga Akhir ( TPA ) Desa Karangrejo 23 B Kecamatan Metro Utara.      
C. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat – alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini diantaranya :
  1. Alat tulis
  2. Kamera Digital
  3. Alat perekam suara ( jika diperlukan )
2. Bahan
Bahan yang diperlukan pada penelitian ini adalah Tempat Pembuangan Sanmpah Akhir ( TPA ) 23 Karangrejo.
D. Prosedur Penelitian
Peneleti datang ke Tempat Pembuangan Akhir ( TPA ) Karangrejo untuk melakukan pengamatan :
  1. Jumlah mobil pengangkut sampah yang beroprasi.
  2. Jumlah sampah dalam satu mobil pengangkut sampah
  3. Volume sampah yang masuk TPA Karangreejo selama satu hari
  4. Jenis – jenis sampah yang ada di TPA Karangrejo
E. Data Hasil
1. Sejarah Singkat UPTD TPSA Karangrejo
            Menurut penuturan Bapak Sangat seorang petugas di lingkungan UPTD TPSA bahwa UPTD TPSA Karangrejo berdiri diatas tanah seluas 9,5 ha, yang diperoleh melalui pembebasan lahan. UPTD TPSA Karangrejo berdiri sejak tahun 90an dan pada mulanya memang dipruntukan sebagai tempat pengelolaan sampah Kota Metro.
2. Sarana dan Prasarana
UPTD TPSA Karangrejo memiliki sarana pendukung diantaranya :
  1. 1 buah kantor para petugas UPTD TPSA
  2. 1 buah rumah jaga untuk petugas keamanan
  3. 1 buah pos satpam
  4. 2 buah alat berat yang terdiri dari 1 buah eskafator dan satu buah buldoser
  5. 1 buah lubang penampungan sampah dengan ukuran kira – kira 100 m X 100 m.
  6. 2 buah kolam penampungan air sampah dengan ukuran masing – masing 20 X 50 m.
  7. 1 buah sumur pantau
3. Volume Sampah
Pada tiah harinya rata – rata ada 7 – 9 mobil pengangkut sampah yang beroprasi memuat sampah dari berbagai tempat di Kota Metro ke UPTD TPSA. Umumnya sampah berupa sampah organik yang umumnya sisa sayuran yang berasal dari pasar tradisional/ pasar sayur Kota Metro.
4. Proses Pengelolaan Sampah
UPTD TPSA Karangrejo melakukan berbagai tahapan/proses dalam mengelola sammpah yanng ada di UPTD TPSA. Proses – proses tersebut diantaranya :
1. Sanpah yag ada di Kota Metro dikumpulkan dan diangkut dengan truk sampah
    untuk kemudian dibawa ke UPTD TPSA.
2. Setibanya di UPTD TPSA sampah tersebut akan langsung dimasukkan ke bak
    penampungan sampah utama, bersamaan dengan hal itu para pemulung sampah
    akan memilah sampah – sampah yang menurut mereka masih bernilai.
3. Pada permukaan bak penampungan sampah utama terdapat pipa paraln besar
    dengan diameter kira- kira 20 cm sebanyak 2 buah yang berguna untuk
    mengalirkan air rembesan dari sampah – sampah yang membusuk/terurai.
4. Pada bak penampungan sampah utama terdapat pipa paralon dengan posisi  
    berdiri tegak dengan tujuan untuk menyalurkan gas – gas yang terbentuk dari
    proses pembuuskan sampah, jarak antar pipa paralon ini 20 X 20 M.
5. Air rembesan sapah dari nbak utama akan dialirkan melalui pipa paralon ke
    lubang air satu. Secara otomatis jika air rembesan pada lubang air satu teklh
    penuh akan langsung mengalir ke kolam penampungan air ke-1.
6. Dari kolam penampungan air ke-1 air akan dialirkan ke lubang air dua, secara
    otomatis jka air pada lubang air dua telah penuh akan langsung dialirkan ke
    kolam penampungan air ke-2.
7. Dari kolam penampungan air ke-2 air akan dialirkan ke saluran irigasi dan
    selanjutnya akan menuju ke kali/sungai, namun terlebih dahulu air pada kolam
    penampungan ke-2 ini di tes terlebih dahulu kandungannya apakah sudah aman
    untuk dialirkan ke sungai, pengetesan di lakukan di sumur pantao yang terletak
    bersebelhan dengan kolam penampungan air ke-2. setelah air benar – benar
    aman barulah air akan disalurkan ke sungai.
8. Mengenai sampah yang telah membusuk ataupun belum membusuk ( sampah
    non organik ), akan tetap diletakkan di bak penampungan utama, apabila bak
    penampungan utama telah penuh maka akan dibuat bak penampungan lain. Bak
    penampungan utama yang telah penuh akan dikondisikan agar menjadi lahan
    sebagaimana sebelumnya agar nantinya dapat digunakan kembali.
F. Analisis Data dan Pembahasan
1. Pada setiap harinya rata – rata ada 7 truk sampah yang beroprasi mengabgkut sampah dari berbagai tempat di Koata Metro ke UPTD TPSA. Tidak dapat dipastikan berapa volume sampah dari masing – masing truk karena sampah yang berbagai macam mempunyai volume yang bebeda pula.
2. Adanya para pemulung sampah di TPSA cukup membantu untuk sedikit mengurangi volume/keberadaan sampah, karea mereka memilah sampah – sampah yang masih mempunyai nilai ekonomis.
3. UPTD TPSA melakukan prosedur pengelolaan samph yang banar memperhatikan lingkungan.
4. Keberadaan sumur pantao sangat penting kaitannya untuk melakukan pemantauan limbah UPTD TPSA.
5. UPTD TPSA mempunyai peranan yang penting dan mutlak bagi kelangsungan masyarakat Kota Metro, bisa dibayangkan apabila sebuah daerah tidak mempunyai unit yang mengelola sampah.










BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah kami melakukan penelitian/ observasi ke UPTD TPSA Karabfrejo kami menarik beberapa kesimpulan diantaranya:
1. Sampah yang ada di suatu daerah harus dikelola dengan benar agar tidak
    menimbulkan masalah yang lebih besar dikemudian hari.
2. Pemerintah kota dalam hal ini UPTD TPSA melakukan penanganan yang tepat
    dan berkelanjutan dalam mengelola sampah serta, menganggarkan dana pada
    RAPBD kaitannya untuk keberlansungan mengelola sampah.
3. Sampah yang merupakan barang yang tidak berharga jika berada pada kondisi
        dan tempat yang berbeda akan berubah menjadi sebuah ladang ekonomi bagi
        orang lain. 
B. PENUTUP
            Allhamdullilah puji syukur penulis ucapkan kepada ALLAH SWT yang telah melimpahkan taufik serta hidayah-Nya. Sehingga tim penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian. Laporan penelitian ini masih memiliki banyak kesalahan dan  kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar terciptanya laporan penelitian yang lebih baik dan dapat bermanfaat bagi pembaca. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan karya tulis ini.

DAFTAR PUSTAKA
Agung Suprihatin, S. Pd; Ir. Dwi Prihanto; Dr. Michel Gelbert. 1996. Pengelolaan                 Sampah. Malang : PPPGT / VEDC Malang
Ary Nilandari. 2006. Aku Bisa Menghemat Listrik. Jakarta : Dian Rakyat.
Atasi Defisit Energi Listrik, Indonesia Bisa Gunakan Biomass Sampah Sumber : Media Indonesia (14 Januari 2004).

 (Tandjung, Dr. M.Sc., 1982) “Sampah adalah sumberdaya yang tidak siap pakai.” (Radyastuti, W. Prof. Ir, 1996).
DKI Perlu Modernisasi Pengolahan Sampah (Republika edisi 18 Agustus 2004),
Sampah Dapat Hasilkan Energi Listrik
(www.energi.lipi.go.id edisi 6 Desember 2004 )